Dalam perburuan ilmunya di Makkah K.H. Hasbiyallah,
yang diperkirakan lahir pada tahun 1913, berguru kepada tokoh-tokoh ulama-ulama
besar besar Indonesia seangkatannya. Diantara guru-gurunya itu adalah Syaikh
Muhammad Ali Al-Maliki, Sayyid ‘Alwi bin ‘Abbas Al-Maliki, Syaikh Muhammad
Habibullah As-Sanqiti, Syaikh Muhammad Amin Kutbi, Syaikh Hasan Al-Masysyath,
Syaikh Umar Hamdan, Syaikh ‘Ali Al-Yamani, Syaikh Zakariya Bila, Syaikh Ahmad
Fathoni, Syaikh Umar At-Turki.
Sedangkan guru-gurunya di tanah air adalah K.H. Anwar, yang termasyhur dengan
sebutan Mua’allim H. Gayar (ayahandanya sendiri), Guru Marzuki bin Mirshod
Cipinang Muara, Guru Muhammad Thohir Cipinang Muara (menantu Guru Marzuki),
K.H. Kholid Gondangdia, K.H. Abdul Majid Pekojan, Guru Babah, K.H. Abbas
(Buntet, Cirebon), Habib Ali Al-Habsyi Kwitang, dan Habib Ali Al-Attas Bungur.
Sejek kecil K.H. Hasbiyallah dididik oleh ayahandanya sendiri, Muallim H.
Gayar, yang selain seorang pedagang juga ulama terkemuka. Mulai dari membaca
Al-qur’an sampai ilmu-ilmu lain, diantaranya memperdalam ilmu tauhid, fiqih,
tafsir, hadist, nahwu, sharaf, balaghah, manthiq, dan sebagainya.
Namun karena kesibukan ayahnya sebagai pedagang, Hasbiyallah kecil dititipkan
kepada teman karibnya, seorang ulama besar, Guru Marzuki bin Mirshod. Guru
Gayar berkata kepada temannya itu dihadapan temannya yang lain, Guru Said, “Gua
ama Said banyakan ngurusin dagang, ngajarnya kagak kaya elu. Elu aja yang jadi
ulama. Kalo kita jadi ulama bertiga, entar kita pada berebutan berkat.”
Sebenarnya, ketiga guru itu terkenal dengan kealimannya masing-masing. Itu
terlihat dari jumlah santri mereka pada zaman berikutnya menjadi ulama-ulama
besar.
Mualim H. Gayar dan Guru Marzuki bin Mirshod belajar kepada Sayyid Ustman
Banahsan (Habib Ustman Muda) dan Habib Ustman bin Abdillah bin ‘Aqil Bin Yahya
Al-Alawi, yang termashur sebagai mufti Betawi dan memilki banyak karya dan
sebagiannya selama puluhan tahun (bahkan lebih dari seratus tahun) hingga
sekarang menjadi pegangan para penganut ilmu dan ulama.
Selama belajar dengan Guru Marzuki, Hasbiyallah muda banyak mendapat kesempatan
bergaul dengan santri-santri lainnya dari Jakarta dan sekitarnya yang kemudian
menjadi tokoh ulama yang disegani. Di antaranya, K.H. Mukhtar Tahbrani (Pendiri
Ponpes An-Nur, Kaliabang Nangka, Bekasi), K.H. Noer Ali (Pendiri Ponpes At-Taqwa,
Ujung Harapan, Bekasi), K.H. Mughni (mertua K.H. Noe Ali), K.H. Abdullah
Syafi’I (pendiri Perguruan Asy-Syafi’iyah, Bali Matraman), K.H. Syarkaman
Lenteng Agung, K.H. Rohaimin Gabus Pabrik, K.H. Abdul Hadi (pendiri Ponpes
Cipinang Kebembem), K.H. Abu Bakar (Tambun), K.H. Abdul Hamid (Bekasi), K.H. A.
Zayadi Muhajir (pendiri Ponpes Az-Ziyadah, Klender), K.H. Ahmad (Pangkalan
Jati), K.H. Mukhtar (Pondok Bambu), K.H. Abdur Rohman Shodri (Bekasi), K.H. A.
Mursyidi (Klender), K.H. Muhammad Nur Bungur Seroja, K.H. Jurjani Bungur, K.H.
Thohir Rohili (pendiri Ponpes Athtahiriyah), K.H. Mualim Sodri Pisangan, Guru
Abdurrahman Pulo Kambing.
Pada tahun 1934, ketika Hasbiyallah sedang giat-giatnya memperdalam ilmu agama.
Allah memanggil sang guru ke haribaan-Nya. Namun semangat belajarnya tak pernah
padam, hingga ia melanjutkan pelajatannya ke Pondok Pesantren Buntet Cirebon,
yang diasuh seorang kyai besar kharismatik, K.H. Abbas Buntet.
K.H. Hasbiyallah, ulama yang dikenal luas akan kedalaman ilmunya, yang juga
pendiri Lembaga Pendidikan Islam Al-Wathoniyah, Klender, wafat pada tahun 1982.
Singa Karawang Bekasi atau Si Belut Putih itulah
julukan yang di berikan kepada KH Noer Alie,sebuah julukan yang memang
layak di berikan kepadanya atas keberanian dan jiwa patriotnya semasa revolusi
melawan penjajahan belanda dan atas jasa2nya kepada negara itulah pulalah
,pemerintah Indonesia melalui presiden sby menetapkan kepres yang
menganugrahkannya gelar Pahlawan Nasional Indonesia dan mendapatkan Tanda
Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana. pada hari Kamis tanggal 09 November
2006 dalam rangka peringatan Hari Pahlawan di Istana Negara Jakarta.
Bukan orang Bekasi namanya kalau dia tidak kenal KH. Noer Ali“. itulah
ungkapan yang sering di dengar dari para orang tua dahulu mengenai KH Noer
Alie. Sosok yang sangat terkenal dimata orang Bekasi karena ia menjadi salah
satu ikon kebanggaan masyarakat Betawi (khususnya di Karawang-Bekasi) pada masa
revolusi. Seorang kiai yang sangat peduli dengan pendidikan, cerdas, berani dan
sangat dihormati oleh lingkungan sekitarnya. Kisah kepahlawanan KH. Noer Alie
pun telah menginspirasi seorang pujangga besar Indonesia, yaitu Khairil Anwar
untuk menulis karya puisi Antara Karawang-Bekasi yang sangat terkenal
itu.
Tulisan ini adalah ringkasan dari buku KH. NOER ALIE KEMANDIRIAN ULAMA
PEJUANG dan beberapa blog di internet dengan sedikit modifikasi dari
penulis. Berikut ini biografi singkat KH. Noer Alie :
Masa Kecil dan Riwayat Pendidikan KH. Noer Ali
KH. Noer Alie lahir sebagai anak keempat dari sepuluh bersaudara pasangan H.
Anwar bin H. Layu dan Hj. Maimunah binti Tarbin pada tahun 1914 di Desa Ujung
Malang, Onderdistrik Babelan, Distrik Bekasi, Regentschap ( Kabupaten ) Meester
Cornelis, Residensi Batavia, sebelum diganti menjadi Desa Ujung Harapan
Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, atas usulan Menteri
Luar Negeri Adam Malik pada tahun 1970-an ketika berkunjung ke Pesantren
Attaqwa.
Tidak ada yang tahu persis tanggal dan bulan kelahiran KH. Noer Alie, kecuali
tahunnya, 1914. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan penduduk kampung yang tidak
terbiasa mencatat peristiwa dalam bentuk tulisan. Kalaupun menggunakan daya
ingat, semua tergantung dari kemampuan seseorang merangkaikan satu peristiwa
dengan peristiwa lain sehingga kelahiran dapat diduga. Meskipun begitu,
keabsahannya amat diragukan.
Pada awal usia 3 tahun KH. Noer Alie sudah bisa berbicara dengan bahasa ibu,
mengeja huruf, hitungan dan hafal kata yang baru, baik dari bahasa Arab maupun
Melayu. Bersamaan dengan masa disapih, KH. Noer Alie mulai bergaul dengan
teman-teman sebayanya di luar rumah.
Salah satu kelebihan KH. Noer Alie sudah nampak sejak kecil yang kelak akan
mempengaruhi kepemimpinannya, yaitu ketika main ia tidak mau tampil di
belakang, tidak mau diiringi, ia selalu ingin tampil di muka sebagai orang yang
pertama meskipun jumlahnya temannya belasan hingga puluhan. Ketika memainkan
permainan anak-anak pun ia tidak mau kalah. Di hampir semua permainan ia selalu
tampil sebagai pemenang, seperti cor, bengkat, peletokan, layang-layang,
teprak, dan perang-perangan.
Semasa kecil KH Noer Alie sudah memperlihatkan semangat belajar yang sangat
baik, di usia delapan tahun KH. Noer Alie dikhitan dan belajar kepada guru
Maksum di kampung Bulak. Pelajaran yang diberikan lebih dititikberatkan pada
pengenalan dan mengeja huruf Arab, menghafal dan membaca Juz-amma, ditambah
menghafal dasar-dasar rukun Islam dan rukun Iman, tarikh para Nabi, akhlak dan
Fiqih. Karena sejak kecil telah terbiasa belajar dengan orangtua dan
kakak-kakaknya, KH Noer Alie pun tidak merasa kesulitan mencerna
pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh gurunya.
Setelah tiga tahun belajar pada guru Maksum. Pada tahun 1925 KH. Noer Alie
belajar pada guru Mughni di Ujung Malang. Di sini ia mendapat pelajaran al-Fiah
(tata bahasa Arab), al-Qur’ân, Tajwid, Nahwu, Tauhid, dan Fiqih. Seiring dengan
perkembangan usia dan pelajaran yang telah didapat, keinginantahuannya terhadap
dunia luar pun semakin kuat. Mula-mula ia dan kawan-kawannya bermain ke
kampung-kampung di sekitarnya. Sampai pada keingintahuannya untuk melihat rumah
gedung tuan tanah, tingkah laku tuan tanah dan aparatnya.
Bersamaan dengan itu ia pun sudah bisa membandingkan antara konsep normatif
yang diajarkan gurunya dengan kondisi realita penduduk. Kalau gurunya
mengajarkan untuk tidak melakukan kegiatan maksiat, justru pada kenyataannya
KH. Noer Alie dihadapkan pada kondisi realita tersebut. KH. Noer Alie
menganggap ini sebagai akibat dari kurangnya pendidikan agama bagi
masing-masing individu masyarakat.
Semangat cinta tanah air bernuansa keagamaan merasuk dalam dirinya. Kepada
adiknya Hj. Marhamah, ia mengutarakan cita-citanya untuk menjadi pemimpin agama
dan membangun sebuah perkampungan surga. Dimana penduduknya beragama Islam dan
menjalankan syariat Islam.
KH. Noer Alie juga giat membantu ayah dan ibunya di rumah. Kebiasaan KH. Noer
Alie yang sejak kecil sudah nampak adalah bila kerja tidak mau melakukan
pekerjaan yang sedikit dan tanggung-tanggung. Ia hanya mau bekerja kalau
pekerjaan itu menyeluruh, dari awal sampai akhir, meskipun sarat dengan beban
berat.
Di pengajian guru Mughni, KH. Noer Alie dianggap sebagai murid yang pandai,
cerdas, dan tekun. Semua mata pelajaran dikuasai KH. Noer Alie dengan baik.
Sehingga wajar saja kalau guru Mughni amat sayang kepadanya. Bahkan khusus
untuk pelajaran al-Fiah (pengetahuan tentang kaidah tata bahasa Arab), KH. Noer
Alie mampu menghafal seribu bait lebih awal. Disaat yang sama, yaitu ketika
guru Mughni berkeinginan untuk menjadikan KH. Noer Alie sebagai badalnya, KH.
Noer Alie pun memberitahu kepada orangtua tentang keinginannya mondok ke guru
Marzuki. Mengingat bakat, kesungguhan dan tekad yang besar, akhirnya dengan
berat hati guru Mughni mengizinkan KH. Noer Alie dapat melanjutkan pendidikan
pada guru Marzuki.
Pada tahun 1930-an KH. Noer Alie meneruskan pendidikannya dan mondok pada guru
Marzuki di kampung Cipinang Muara, Klender. Disini KH. Noer Alie menempuh
pendidikan tahap lanjutan setingkat Aliyah dengan mata pelajaran sebagaimana
yang diberikan pada guru Mughni, tetapi materinya dikembangkan dengan aspek
pemahaman yang lebih ditekankan, seperti pelajaran Tauhid, Tajwid, Nahwu,
Sharaf dan Fiqih.
Jika memiliki waktu senggang terutama saat libur hari jum’at, seminggu sekali
guru Marzuki melakukan kegiatan berburu bajing. Bagi guru Marzuki, bajing
sangat merugikannya dan petani kelapa umumnya, karena bajing mempunyai
kegemaran memakan kelapa yang masih berada di pohon. Dan dari guru Marzuki ia
belajar cara menggunakan senjata.
Pada tahun 1933, karena dinilai cerdas dan mampu mengikuti pelajaran dengan
baik, KH. Noer Alie diangkat menjadi badal, yang fungsinya menggantikan sang
guru apabila ia sedang udzur (halangan).
Di pondok guru Marzuki, KH. Noer Alie mempunyai banyak teman yang kelak akan
menjadi sahabatnya dan ulama terkenal di bilangan Jakarta, Bogor, Tangerang,
dan Bekasi, seperti KH. Abdullah Syafi’ie, KH. Abdurrachman Shadri, KH. Abu
Bakar, KH. Mukhtar Thabrani, KH. Abdul Bakir Marzuki, KH. Hasbullah, KH. Zayadi
dll.
Sebagai murid yang mempunyai keinginan besar dalam menempuh pendidikan, KH.
Noer Alie mempunyai keinginan untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih
tinggi. Dan dari cerita guru Marzuki, KH. Noer Alie mendengar bahwa pendidikan
tingkat lanjut dan agar menjadi ulama yang baik adalah di Makkah. Awalnya guru
Marzuki dan H. Anwar pun keberatan, karena melihat ekonomi yang pas-pasan. Guru
Marzuki hanya dapat menyarankan agar KH. Noer Alie melanjutkan belajarnya ke
guru Abdul Madjid di Pekojan. Tapi KH. Noer Alie menilai, ia tidak akan
berkembang jika masih berada di lingkungan Batavia. Mendengar rengekan anak
kesayangannya yang berbakat itu, H. Anwar tidak dapat menahan haru. Sebelum
berangkat KH. Noer Alie dan KH. Hasbullah menemui guru Marzuki untuk meminta
restu. Di akhir pertemuan guru Marzuki berpesan pada kedua murid kesayangannya
itu, “meskipun di Makkah belajar dengan banyak Syeikh, tapi kalian tidak boleh
lupa untuk tetap belajar pada Syeikh Ali al-Maliki”.
Tahun 1934 KH. Noer Alie ditemani sahabatnya KH. Hasbullah berangkat menuju
Makkah dengan uang pinjaman dari tuan tanah Wat Siong. Sesampainya di pelabuhan
Jeddah, KH. Noer Alie disambut oleh Syeikh Ali Betawi yang bertugas menyambut
jamaah haji atau para pelajar yang bermukim di Makkah. Selanjutnya KH. Noer
Alie melanjutkan perjalanan menuju Makkah dengan kendaraan Onta selama dua hari
satu malam.
Baru beberapa minggu di Makkah, KH Noer Alie mendapat kabar dari jamaah haji
yang baru datang, bahwa guru yang sangat dicintai dan dihormatinya, guru
Marzuki, meninggal dunia. Untuk sementara waktu, KH. Noer Alie, KH. Hasbullah
dan orang-orang yang kenal dengan guru Marzuki berkabung dan melakukan shalat
ghaib.
Sesuai dengan pesan gurunya, KH. Noer Alie langsung menghubungi Syeikh Ali
al-Maliki. Adalah wajar jika guru Marzuki meminta KH. Noer Alie untuk belajar
kepada Syeikh Ali al-Maliki karena guru Marzuki adalah murid kesayangan Syeikh
Ali al-Maliki ketika mukim di Makkah sejak tahun 1900-1910.
Saat itu Syeikh Ali al-Maliki berusia 75 tahun. Syeikh Ali al-Maliki
adalah Syeikh yang mengajarkan berbagai macam cabang ilmu agama Islam, tapi
ajarannya lebih dititikberatkan pada Hadits.
Kedekatan KH. Noer Alie dengan Syeikh Ali al-Maliki terwujud pula dalam
kegiatan sehari-hari. Hampir setiap hari, apabila menuju dan dari Masjidil
Haram KH. Noer Alie memapah Syeikh yang sudah renta itu, yang membutuhkan waktu
berjalan sekitar 15 menit.
Selain dengan Syeikh Ali al-Maliki, KH. Noer Alie pun menggali ilmu agama dari
syeikh lain, terutama Syeikh Umar Hamdan, Syeikh Ahmad Fatoni, Syeikh Ibnul
Arabi, Syeikh Muhammad Amin al-Quthbi, Syeikh Achyadi, Syeikh Abdul Zalil dan
Syeikh Umar at-Turki.
Kepada Syeikh Umar Hamdan yang berusia sekitar 70 tahun, KH. Noer Alie belajar
Kutubussittah. Syeikh Ahmad Fatoni adalah Syeikh yang berasal dari Patani
(Muangthai), berumur sekitar 40 tahun, yang memberikan pelajaran Fiqih dengan
kitab Iqna sebagai acuannya. Melalui Syeikh Muhammad Amin al-Quthbi yang
berusia 45 tahun, KH. Noer Alie belajar ilmu Nahwu, Qawafi (Sastra), dan Badi’
(Mengarang). Selain itu Syeikh Quthbi pun mengajarkan ilmu Tauhid dan Mantiq
(ilmu logika yang mengandung Falsafah Yunani) dengan kitab Asmuni sebagai
acuannya. Sedangkan dari Syeikh Abdul Zalil diperoleh ilmu politik, Syeikh Umar
at-Turki dan Syeikh Ibnul Arabi, diperoleh ilmu Hadits dan Ulumul Qur’an.
Berada jauh dengan tanah air tidak membuat KH. Noer Alie lupa dengan bangsanya.
Melalui wesel dari orangtua dan surat kabar yang terbit di Saudi Arabia dan
Hindia Belanda, KH. Noer Alie mengetahui situasi dan kondisi dunia dan tanah
airnya. Adanya sarana organisasi seperti Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia
(PPPI), Persatuan Talabah Indonesia (Pertindo), dan Perhimpunan Pelajar
Indonesia-Malaya (Perindom), telah menggerakkan hati KH. Noer Alie untuk turut
andil didalamnya. Pada beberapa kesempatan ia sempat berdialog dengan beberapa
pelajar asal jepang, diantaranya adalah Muhammad Abdul Muniam Inada.
Betapapun pentingnya organisasi, KH. Noer Alie menyadari bahwa menuntut harus
ilmu itu lebih diutamakan. Selain itu faktor yang membuat KH. Noer Alie tidak
memasuki organisasi yang lebih besar adalah karena masih banyak teman-temannya
yang kesulitan keuangan, dan lemahnya kemampuan intelektual dan pengalaman
organisasi dari individu masing-masing teman-temannya. KH. Noer Alie pun sadar
bahwa kekuatan bisa dibina dari yang kecil, dari yang bawah. Sebagai
realisasinya, KH. Noer Alie dan beberapa temannya seperti KH. Hasan Basri
membentuk organisasi Persatuan Pelajar Betawi (PPB), dengan KH. Noer Alie
sebagai ketuanya.
Ketika suasana mendekati perang dunia II ( akhir 1939 ), KH. Noer Alie yang
sudah memiliki cukup ilmu memutuskan untuk kembali ke tanah air. Syeikh Ali
al-Maliki yang melihat potensi keulamaan KH. Noer Ali, berpesan diakhir
pertemuan:
“Kalau kamu mau pulang, silahkan pulang. Tapi Ingat, jika bekerja jangan jadi
penghulu (pegawai pemerintah). Kalau kamu mau mengajar, saya akan ridha
dunia-akhirat”.
Mendirikan Pesantren dan Berjuang Mempertahankan Kemerdekaan
Kepulangan KH. Noer Alie ke kampung halamannya Ujung Malang pada awal Januari
tahun 1940, telah menjadi duri dalam daging bagi tuan tanah dan pemerintah
Hindia Belanda. Setelah mendirikan pesantren, maka di tahun yang sama tepatnya
pada bulan April, ia menikah dengan Hj. Siti Rahmah binti KH. Mughni.
Salah satu karya KH Noer Alie yang dapat kita rasakan manfaatnya sampai
sekarang adalah pembangunan dan pembukaan akses jalan secara besar–besaran
antara kampung Ujung Malang, Teluk Pucung, dan Pondok Ungu. Dalam setiap jalan
yang dibangun beliau tidak pernah mengeluarkan biaya untuk pembebasan tanah
warga, tetapi apabila itu merupakan instruksi dari Engkong Kiai, semua warga
dengan sukarela dan ikhlas akan mewakafkan, dan beliau terjun langsung memimpin
gotong-royong pengerjaannya pada pertengahan tahun 1941.
Sebagai salah satu pemimpin agama yang namanya sudah masuk dalam daftar Shimubu
(Kantor Urusan Agama), pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), KH. Noer Alie
menyikapinya dengan sangat hati–hati.
Pada pertengahan April 1942 KH. Noer Alie memenuhi undangan tentara Jepang
menghadap pimpinan Shimubu di kantor Shimubu, dekat masjid Matraman,
Jatinegara. Ternyata disana ada Muhammad Abdul Muniam Inada, pelajar Jepang
yang menjadi temannya di Makkah menjadi ketua Shimubu.
Secara formal, atas nama pemerintahan pendudukan, Muniam meminta kepada KH.
Noer Alie agar bersedia membantu Jepang dalam bentuk partisipasi langsung dalam
aktifitas yang diprogramkan Shimubu. Menyadari posisinya dalam kondisi serba
salah, dengan kemahirannya berdiplomasi, KH. Noer Alie secara halus menolak
ajakan Muniam dengan alasan “Saya sedang memimpin pesantren yang baru
didirikan. Kalau saya terjun bersama ulama lain, bagaimana nasib santri saya,
mereka akan tercerai berai tak terurus”. Dengan alasan yang masuk akal tersebut
Muniam mengijinkan KH. Noer Alie untuk tetap mengurus pesantren sambil tetap
berdoa demi kemakmuran Asia Raya.
Untuk mempersiapkan diri bila sewaktu-waktu bangsa Indonesia harus bertempur
secara fisik, KH. Noer Alie menyalurkan santrinya ke dalam Heiho (pembantu
prajurit), Keibodan (barisan pembantu polisi) di Teluk Pucung, dan menyuruh
salah seorang santrinya untuk mengikuti latihan kemiliteran Pembela Tanah Air
(PETA).
Ketika Indonesia merdeka, ia terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia
Daerah (KNID) Cabang Babelan. Tanggal 19 September 1945 ketika diselenggarakan
Rapat Raksasa di Lapang Ikada Jakarta, KH. Noer Ali mengerahkan massa untuk
hadir. Dalam mempertahankan kemerdekaan, ia menjadi Ketua Laskar Rakyat Bekasi,
selanjutnya menjadi Komandan Batalyon III Hisbullah Bekasi. Gelar kiai haji
sendiri beliau dapatkan dari bung Tomo yang dalam pidatonya melalui pemancar
Radio Surabaya atau Radio Pemberontaknya berkali-kali menyebut nama KH. Noer
Alie, akhirnya gelar guru pun tergeser dan berganti dengan makna yang sama,
Kiai Haji.
Ketika terjadi Agresi Militer Juli 1947 KH. Noer Ali menghadap Jenderal Oerip
Soemohardjo di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di Jawa Barat
dengan tidak menggunakan nama TNI. KH. Noer Alie pun kembali ke Jawa Barat
dengan berjalan kaki dan mendirikan sekaligus menjadi Komandan Markas Pusat
Hizbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang.
Untuk menunjukkan bahwa pertahanan Indonesia masih eksis, dibeberapa tempat
MPHS melakukan perang urat syaraf (psy-wars). KH Noer Alie memerintahkan
pasukannya bersama masyarakat di Tanjung Karekok, Rawa Gede dan Karawang untuk
membuat bendera merah-putih ukuran kecil yang terbuat dari kertas.
Ribuan bendera tersebut lalu ditancapkan di setiap pohon dan rumah penduduk
dengan tujuan membangkitkan moral rakyat bahwa ditengah-tengah kekuasaan
Belanda masih ada pasukan Indonesia yang terus melakukan perlawanan.
Aksi herois tersebut membuat Belanda terperangah dan mengira pemasangan bendera
merah-putih tersebut dilakukan oleh TNI, Belanda langsung mencari Mayor Lukas
Kustaryo, karena tidak ditemukan Belanda marah dan membantai sekitar empat
ratus orang warga sekitar Rawa Gede.
Pembantaian yang terkenal dalam laporan De Exceseen Nota Belanda itu disatu
sisi mengakibatkan terbunuhnya rakyat, namun disisi lain para para petinggi
Belanda dan Indonesia tersadar bahwa disekitar Karawang, Cikampek, Bekasi dan
Jakarta masih ada kekuatan Indonesia. Sedangkan citra Belanda kiat terpuruk
karena telah melakukan pembunuhan keji terhadap penduduk yang tidak bedosa.
Pada tanggal 29 November 1945 terjadi pertempuran sengit antara pasukan KH Noer
Alie dengan Sekutu di Pondok Ungu. Pasukan yang sebelumnya telah telah
diberikan motifasi juang seperti puasa, doa hizbun nasr, ratib
al-haddad, wirid, shalat tasbih, shalat hajat, dan shalat witir, lupa dengan pesan
KH. Noer Alie agar tidak sombong dan angkuh. Melihat gelagat yang tidak baik,
KH. Noer Alie menginstruksikan seluruh pasukannya untuk mundur. Sebagian yang
masih bertahan akhirnya menjadi korban di pertempuran Sasak Kapuk.
Kecintaan terhadap bidang pendidikan telah membuat KH. Noer Alie berinisiatif
untuk membentuk Lembaga Pendidikan Islam (LPI) bersama KH. Rojiun, yang salah
satu programnya adalah mendirikan Sekolah Rakyat Islam di Jakarta dan Jawa
Barat. Di Ujung Malang, KH Noer Alie kembali mengaktifkan pesantrennya dengan
SRI sebagai lembaga pendidikan pertama.
Pada bulan Juli 1949 KH. Noer Alie diminta oleh Wakil Residen Jakarta Muhammad
Moe’min untuk menjadi Bupati Jatinegara. Teringat pesan gurunya Syeikh Ali
al-Maliki agar tidak menjadi pegawai pemerintah, maka KH. Noer Alie pun menolak
dengan halus tawaran tersebut.
Membangun Politik Membentengi Ummat
Paska perang kemerdekaan perjuangan KH. Noer Alie terus berlanjut dalam bidang
politik, pendidikan, dan sosial. Maka pada tanggal 19 April 1950 KH. Noer Alie
ditunjuk sebagai Ketua Masyumi Cabang Jatinegara.
Peran Politik KH Noer Alie cukup besar dalam perjuangan pergerakan Republik
Indonesia terutama untuk wilayah Bekasi. KH. Noer Alie juga tercatat sebagai
salah seorang yang membidani lahirnya kabupaten bekasi yang sebelumnya bernama
kabupaten Jatinegara.
Setelah LPI tidak aktif, maka pada tahun 1953 KH. Noer Alie membentuk
organisasi sosial yang diberi nama Pembangunan Pemeliharaan dan Pertolongan
Islam (P3) yang kedepannya akan berganti nama menjadi Yayasan Attaqwa. Yayasan
P3 adalah induk dari pendidikan SRI, pesantren, dan kebutuhan ummat Islam
lainnya. Kemudian pada tahun 1954 KH. Noer Alie menginstruksikan kepada KH.
Abdul Rahman untuk membangun Pesantren Bahagia yang murid pertamanya adalah lulusan
SRI Ujung Malang yang berjumlah 54 orang. Setelah dinilai mandiri oleh KH. Noer
Alie, maka pada tanggal 6 agustus 1956 Yayasan P3 telah mendapat pengakuan
secara hukum melalui notaris Eliza Pondang di Jakarta.
Pada pemilu 1955, Masyumi Bekasi memperoleh suara terbanyak. Kemenangan ini
tidak terlepas dari kemahiran politik dan kharisma KH. Noer Alie. Atas dasar
itu ia ditunjuk Masyumi Pusat sebagai salah satu anggota Dewan Konstituante
pada bulan September 1956.
Saat aktif di pusat. Ia pun hadir dalam Muktamar Alim Ulama Seluruh Indonesia
di Palembang pada 8-11 Sepetember 1957. Dan dihadiri oleh lebih dari seribu
ulama dari Aceh hingga Papua. Disini KH. Noer Alie diangkat sebagai anggota
Seksi Hukum Majelis Permusyawaratan Ulama Indonesia.
Setelah redupnya kejayaan DPP Masyumi dan diproklamirkannya Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PPRI) yang didirikan untuk menandingi
Pemerintahan Pusat. Maka untuk melindungi umat agar tidak terombang-ambing oleh
kekuatan luar yang tidak baik, KH. Noer Alie pun bergabung dengan Badan
Kerjasama Ulama-Militer (BKS-UM) dan diangkat sebagai anggota Majelis Ulama di
Resimen Infanteri 7/III Purwakarta.
Mewujudkan Perkampungan Surga
Setelah pengunduran dirinya dari pentas politik praktis, kembalinya KH. Noer
Alie di tengah-tengah umat dimaknai oleh murid dan para pecintanya sebagai
hikmah dan rahmat. Bagaimana tidak, kalau sebelumnya mereka jarang bertemu KH.
Noer Alie, sejak saat itu dapat bertemu setiap hari. Berbagai persoalan,
terutama yang menyangkut masalah agama dan politik yang sulit dimengerti umat
dapat terjawab memuaskan. Kehadiran KH. Noer Alie dirasakan sebagai pembawa
kesejukan dan pelindung umat.
Dipindahkannya Pesantren Bahagia dari kampung Dua Ratus ke Ujung Malang
memudahkan KH. Noer Alie dan para guru dalam proses belajar-mengajar.
selanjutnya tahun 1962 KH. Noer Alie mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan
Sekolah Persiapan Madrasah Menengah Attaqwa (SPMMA). Sedangkan untuk pendidikan
putri, pada tahun 1964 KH. Noer Alie mendirikan Madrasah al-Baqiyatus-Shalihat.
Tahun 1963 ia nyaris ditangkap, ketika banyaknya tamu dari luar Bekasi yang
berkunjung ke kediaman KH. Noer Alie. Kondisi ini dimanipulasi oleh PKI yang
membuat isu bahwa tamu yang berkunjung itu adalah anggota DI/TII. Mendengar
pengaduan tersebut aparat keamanan segera mengepung Pesantren Attaqwa. KH. Noer
Alie pun menyangkal tuduhan itu, dan meminta tentara agar menggeledah.
“Sekarang kita geledah kampung ini. Kalau terdapat anggota DI, tembak saya.
Tapi kalau nggak dapat, ente yang ana tembak”. Medengar keseriusan dan
kebenaran argumentasi KH. Noer Ale, akhirnya pasukan ditarik mundur.
Ketika terjadi peristiwa G30S/PKI meletus, para santri KH. Noer Alie yang
tergabung dalam Cabang PII ikut membantu pemberantasan PKI bersama dengan TNI
dan generasi muda lainnya. Saat itu juga KH. Noer Alie membagikan fotocopy Hizb
Shagir kepada masyarakat Ujung Harapan dan sekitarnya yang harus diamalkan
ketika bahaya terjadi.
Melihat kemunduran pesantren-pesantren yang disebabkan karena intervensi
pemikiran dan modernisasi sekuler, ataupun karena faktor kiayinya yang banyak
meninggalkan pondok pesantren. Maka melalui musyawarah antara para kiai dan
ulama pemimpin pondok pesantren di Jawa Barat, yang diadakan di Cianjur 4-6
Maret 1972 (19-21 Muharram 1392 H) sepakat membentuk Badan Kerja Sama Pondok
Pesantren (BKSPP) Jawa Barat, dengan KH. Noer Alie sebagai Ketua Umum Majelis
Pimpinan BKSPP didampingi KH. Sholeh Iskandar sebagai Ketua Badan Pelaksana
BKSPP, KH. Khair Effendi, dan KH. Tubagus Hasan Basri.
Pada tahun 1982-1983 ramai dibicarakan masalah pelarangan jilbab bagi siswi
Muslim di SLTP dan SLTA. KH. Noer Alie bersama BKSPP membuat Fatwa Ulama Pondok
Pesantren tentang busana Muslimah. KH. Noer Alie juga menentang RUU Perkawinan
1973 yang menyimpang dari ajaran Islam. Pada puncaknya ia kerahkan 1000 orang
ulama di Pesantren Asyafi’iyyah Jatiwaringin untuk berbaiat tetap
memperjuangkan RUU Perkawinan yang sesuai dengan ajaran Islam. Terkenal pula
kegiatannya menentang judi-judi resmi seperti Porkas dan SDSB.
Sebagai upaya menghadapi tantangan zaman, sudah waktuknya tampuk kepemimpinan
dilimpahkan kepada para kader yang sudah ditempanya sejak lama. Bersamaan
dengan itu nama Yayasan Pembangunan Pemeliharaan dan Pertolongan Islam (P3)
juga ikut diganti menjadi Yayasan Attaqwa. Maka KH. Noer Alie yang bertindak
sebagai Pendiri dan Pelindung, memilih putra tertuanya, KH. M. Amin Noer, MA,
sebagai Ketua Yayasan Attaqwa.
Bersama H. Suko Martono, pejabat Pemerintah Daerah Bekasi, dan tokoh Islam di
Bekasi, KH. Noer Alie turut serta membentuk Yayasan Nurul Islam, yang salah
satu programnya adalah membangun gedung Islamic Centre Bekasi, yang ide
pembangunannya berasal dari KH. Noer Alie.
Dari catatan lain ditemukan bahwa pada tahun 1984 KH Noer Alie kedatangan tamu
pakar sejarah dari Belanda yang ditemani oleh seorang penterjemah dari wartawan
koran Pelita.
Dari pembicaraan Pakar sejarah dari Belanda tersebut terkuak bahwa KH. Noer
Alie, yang oleh penjajah Belanda lebih dikenal sebagai Kolonel Noer Alie. Pakar
sejarah dari Belanda itu kagum akan sosok KH. Noer Alie dan berkata:
“Ternyata seorang Kolonel Noer Alie bukan tentara yang gagah perkasa.
Penampilan anda begitu bersahaja. Bahkan sangat sederhana. Malah pakai kain dan
kopiah putih. Saya takjub dengan jati diri Anda“.
Tatkala benih “perkampungan surga” mulai dirintis, dan tatkala cahaya Islam
mulai menunjukkan tanda-tanda kecerahannya, sejak awal Mei 1991 KH. Noer Alie
jatuh sakit. Sembilan bulan kemudian, tepatnya pada 29 Januari 1992, KH. Noer
Alie wafat, dipanggil Sang Khaliq di rumahnya, di tengah-tengah kompleks Pondok
Pesantren Attaqwa Putri yang dirintisnya sejak muda.beliau meninggalkan seorang
istri bernama..dan ..anak…serta
Pejuang Sepanjang Hayat
Mengenang KH Noer Alie
adalah mengenang
pejuang sepanjang hayat,
dibidang manapun
diperlukan bangsa dan umat.
Nama beliau mesti tercatat
di “tugu syuhada” Indonesia
sebagai ulama teladan
yang selalu bersama rakyat.
Jakarta, 1991
Jenderal TNI (Purn) Abdul Haris Nasution
Sumber Tulisan:
Anwar, Ali. 2006. K.H. NOER ALIE KEMANDIRIAN ULAMA PEJUANG, Bekasi : Yayasan
Attaqwa.
KH.SYAFI’I HADZAMI
Muallim Syafi’i panggilan tersebut akrab di telinga murid-murid beliau.
Kedalaman ilmu serta ketawadhuan beliau memang pantas rasanya bila KH.Syafi’i
Hadzami mendapat julukan Muallim Jakarta, sejak muda beliau gemar sekali
menuntut ilmu dan tak pernah merasa puas terhadap ilmu yang beliau miliki, maka
tak heran bila beliau menguasai beberapa fan ilmu seperti Ilmu Fiqih, ilmu
Falaq, ilmu Hadist , Ilmu Tauhid dan berbagai disiplin ilmu-ilmu lainnya. Salah
satu Guru beliau yang sangat beliau Hormati adalah Syech Muhammad Yasin bin Isa
Al Fadani seorang Ulama terkemuka dari Mekkah yang bergelar Musnidud Dunya, dan
guru- guru beliau lainnya adalahKyai Husain, K.H. Abdul Fattah, Ustaz
Sholihin,Habib Ali Bungur, Habib Ali alhabsyi kwitang K.H. Ya’qub Sa`idi, .
Beliau Bernama Muhammad Syafi”i putra Bewati lahir pada tgl 31 jan 1931 ayahnya
bernama Muhammad Saleh Raidi, gelar Hadzami diberikan oleh guru-guru dan para
Ulama karena kedalaman ilmu yang beliau miliki dalam memahami serta menjelaskan
masalah-masalah yang tergolong rumit untuk dipahami dan Muallim Syafi’i dengan
mudah menjelaskan masalah-masalah tersebut dengan berbagai sumber referensi
yang beliau miliki. Muallim Syafi’i mengajar dibeberapa majlis ta’lim di
Jakarta bahkan menurut penuturan murid beliau sebelum meninggalpun Muallim
Syafi’i Hadzami masih sempat mengajar di Masjid Ni’matul Ittihad pondok pinang
jakarta selatan,Majlis -majlis ta’limnya tak pernah sepi selalu dipadati oleh
jamaah yang berasal dari berbagai kawasan Jabotabek bukan hanya dari kalangan
umum saja yang mendatangi majlis beliau bahkan Para Ulama serta para Asaatidz
turut hadir dalam menimba ilmu dari beliau. Waktu yang begitu berharga tidak
beliau sia-siakan untuk hal hal yang tidak berguna, beliau pergunakan seluruh
waktunya untuk mengajar dan membimbing umat, dan salah satu bentuk ketawadhuan
beliau adalah beliau selalu menganggap guru terhadap para ulama dan para Habaib
walaupun kapasitas keilmuan yang beliau miliki melebihi para ulama dimasanya.
Beliau tekun selalu membaca dan menelaah kitab-kitab, karya beliau yang
termashur adalah Kitab Al Hujjalul Bayyinah , Kitab Sullamul’arsy fi Qiraat
Warasy yang berisi tentang Kaedah Bacaan Alquran Imam Warasy,Kitab Taudhihul
Adillah , 100 masalah Agama,Risalah sholat tarawih, risalah Qoblyah Jum’at.
khsyafii-hadzamikanan.jpg
Karisma keulamaan yang tampak dalam diri Muallim Syafi’i memancar , beliau
bukan saja dikenal di indonesia tapi kedalaman ilmu beliau juga dikenal di luar
negri seperti di Mekkah dan Hadromaut Tarim.Beliua juga sering mendapat
kunjungan dari beberapa ulama Tarim seperti Alalamah Habib Umar bin Hafidz
pengasuh pon-pes Darul Musthofa Tarim Hadromaut.
Ba’da mengajar di Masjid Ni’matul Ittihad tepatnya tanggal 07 may2006 beliau
merasakan nyeri di dada dan sesak napasnya, hingga akhirnya Muallim Syafi’i
dilarikan kerumah sakit RSPP pertamina namun ditengah perjalanan Alloh SWT
memanggilnya untuk kembali menghadapnya, retak agama….rengat agama…dengan
meninggalnya orang alim….linangan air mata mengalir dari murid-murid serta
orang-orang yang mencintai beliau ,ribuan orang berdatangan kerumah beliau
untuk mensholati bahkan menurut penuturan murid beliau yang mensholati jenazah
Muallim Syafi’i tak putus-putus dari pagi hingga malam hari.
sumber : http://sachrony. wordpress. com/2008/ 02/20/khsyafii- hadzami-sumur-
yang-tak- pernah-kering/
Blog Entry Al-Mu'allim K.H.M. Syafi'i Hadzami Rhm. (Sumur yang Tak Pernah
Kering) Sep 8, '06 2:25 AM
for everyone
1. Nama dan Masa Kecil Mu’allim
Beliau di lahirkan dengan nama “Muhammad syafi’I bih M. Sholeh Raidi, di daerah
Batu Tulis, Kebayoran, Jakarta Selatan. Beliau dilahirkan pada tanggal 31
Januari 1931, atau bertepatan dengan 12 Romadhon 1349 H. Beliau mempunyai 8
orang saudara kandung, tetapi karena salah satu meninggal dunia ketika masih
kecil, mu’allim hanya memiliki 7 orang saudara saja.
2. Pendidikan Mu’allim
Sejak masih kecil, mu’allim tidak tinggal bersama kedua orang tuanya. Tapi
beliau tinggal bersama kakeknya yaitu, bpk. Husin, di daerah Pecenongan.
Beliau, sebagai mana lazim orang betawi dahulu, memanggil kakeknya dengan sebutan
jid. Dan di dalam asuhan kakeknyalah mu’allim mendapatkan didikan ilmu-ilmu
agama, seperti ilmu al-qur’an beserta tajwidnya. Sehingga tak heran pada usia 9
tahun, mu’allim berhasil mengkhatamkan al-qur’an serta mengajar kawan-kawannya.
Dan kakeknya pula lah, yang berhasil menanamkan kegemaran dan kecintaan
mu’allim kecil terhadap ilmu agama. Sehingga beliau tumbuh, sebagai pribadi
yang menggemari ilmu agama.
3. Memburu Ilmu, Mengejar Guru
Sebagai mana diberitahukan sebelumnya, mu’allim sejak kecil, adalah sosok yang
sangat menggemari ilmu agama. Hal ini dibuktikan dengan pengembaraannya untuk
menuntut ilmu. Meskipun cakupannya hanya di wilayah Jakarta saja, namun tidak
berarti semuanya berlangsung biasa saja. Banyak sekali hal yang patut kita
jadikan sebagai bahan renungan, mulai dari metode belajar beliau maupun
startegi yang beliau lakukan dalam menuntut ilmu (untuk lebih jelas bisa dibaca
di biografi beliau “Sumur yang Tak Pernah Kering”, terbitan Yayasan
Al-‘Asyirotusy Syafi’iyah). Beliau juga beruntung karena mendapatkan ulama
terkemuka di zamannya sebagai gurunya. Dan istimewanya, beliau pun mendapatkan
tempat khusus di hati para gurunya. Berikut daftar para ulama ridhwanullaha
‘alaihim yang memberikan pendidikan kepada al-mu’allim :
* K.H. Sa’idan
* Syd Ali bin Husein al-Athas (Habib Ali Bungur)
* Syd Ali bin Abd Rohman al-Habsyi (Habib Ali Kwitang)
* K.H. Mahmud Romli
* K.H. Ya’kub Sa’idi
* K.H. Muhammad Ali Hanafiyyah
* K.H. Mukhtar Muhammad
* K.H. Muhammad Sholeh Mushonnif
* K.H. Zahruddin Utsman
* Syekh Yasin bin Isa al-Fadani
* K.H. Muhamad Thoha
* Dan ulama lainnya.
4. Aktivitas Mengajar Mu’allim (Sumur yang Tak Pernah Kering)
Buah dari kerja keras mu’allim menuntut ilmu ke banyak ulama di Jakarta, mulai
terlihat. Majlis ta’lim nya tersebar di lima wilayah ibu kota, bahkan sampai
merambah ke daerah Jawa Barat. Apabila di total, aktivitas mengajar mu’allim
menyebar sampai ke lebih dari 30 majlis ta’lim. Itu berarti tiap harinya
mu’allim mesti mengajar di 4-5 tempat, dengan murid yang berbeda dan juga kitab
yang berbeda. Subhanallah. Yang lebih hebat lagi, majlis mu’allim tidak hanya
dihadiri oleh kalangan umum saja. Tidak sedikit para kyai serta asatidz yang
berdatangan untuk menimba ilmu di sumur yang tak pernah kering itu. Dari sekian
banyak majlisnya itu, ada satu yang melalui media radio, yang ketika itu
berlangsung di Radio Cendrawasih. Pangajian udara inilah, yang nantinya
membidani lahirnya karangan Mu’allim yang fenomenal, yaitu kitab “Taudhihul
Adillah (1-7)”.
5. Buah Karya Mu’allim
Kita patut menyambut gembira kehadiran karya-karya Mu’allim yang manfaatnya
telah banyak diakui oleh banyak orang, baik dari kalangan ulama maupun orang
awam. Hingga kini, sudah puluhan karya yang telah dihasilkan Mu’allim. Pada
umumnya karya beliau (kecuali Kitab Taudhihul Adillah) berupa risalah-risalah
kecil. Berikut penulis sampaikan beberapa karya mu’allim beserta sedikit
ringkasannya.
* Taudhihul Adhillah
Judul buku ini, yaitu Taudhihul Adhillah (menjelaskan dalil-dalil) ,
benar-benar tepat menggambarkan isi buku tersebut. Seperti diberi tahukan
sebelumnya, kelahiran kitab ini bermula dari acara Tanya jawab agama yang
diasuh oleh Mu’allim di Radio Cendrawasih. Menurut mu’allim kitab ini adalah
kitab yang tidak perlu capaek-capek dalam membuatnya, karena kitab ini adalah
“rekaman” dari Tanya jawab tersebut. Kitab ini (dari jilid I s/d VII) telah
berkali-kali di cetak ulang. Peredarannya pun bukan hanya di Indonesia tetapi
juga sampai merambah ke negeri Jiran dan beberapa Negara Timur Tengah.
* Risalah Qobliyah Jum’at
Risalah ini membahas tentang kesunnatan Qobliyyah Jum’at dan hal-hal yang
berkaitan dengannya. Dalam risalah ini dikemukakan nash-nash Al-Qur’an, hadits,
dan pendapat para fuqoha’ (ahli fiqih).
* Risalah Sholat Tarawih
Untuk memenuhi hajat kaum muslimin akan penjelasan tentang sholat tarawih,
disusunlah risalah ini. Di dalamnya dijelaskan dalil-dalil dari hadits dan
keterangan para ulama (termasuk imam mujtahid) yang berkaitan dengan sholat
tarawih. Mulai dari pengertiannya, ikhtilaf tentang jumlah roka’atnya, cara
pelaksanaannya, dll dibahas dalam kitab ini.
6. Wafatnya Mu’allim
Pada pagi hari, ahad 7 Mei 2006, selepas Mu’allim mengajar di Masjid Pondok
Indah, beliau mengeluh sakit pada jantungnya. Akhirnya dalam perjalanan menuju RSPP
Pertamina, beliau kembali berpulang ke pangkuan Allah dengan Husnul Khotimah.
Banyak para muridnya yang terkejut mendengar berita tersebut. Tak hentinya
mereka datang ke kediaman Mu’allim di daerah Kebayoran, untuk mensholati dan
mendo’akan kepergian beliau. Bahkan disebutkan sholat jenazah dilakukan tak
putusnya mulai dari siang sampai malam hari. Sungguh ketika itu Ummat Islam,
khususnya di Indonesia telah kehilangan putra terbaiknya.
Sumber : Buku (K.H.M. Syafi’I Hadzami ; Sumur yang Tak Pernah Kering)
Catatan : Mungkin sekelumit catatan di atas, belum cukup untuk menggambarkan
sosok sang Mu’allim K.H. Muhammad Syafi’I Hadzami. Untuk lebih jelasnya,
sahabat bisa membaca biogarafi beliau (K.H.M. Syafi’I Hadzami ; Sumur yang Tak
Pernah Kering). Wallohu a’lam bish showab.
Bila ingin mereguk ilmu-ilmu agama dari mata airnya yang jernih, jangan
sekali-kali meninggalkan para ulama....
Sejarah pernah mencatat munculnya sejumlah ulama terkemuka asal Jakarta, atau
Betawi dulunya. Mulai dari kebesaran nama Syaikh Junaid Al-Batawi, dari sedikit
tokoh ulama asal Indonesia yang berkesempatan mengajar di majelis ilmu
terhormat di Masjidil Haram. Setelah itu, ketokohan Habib Utsman Bin Yahya,
dengan pengaruh fatwanya yang sedemikian luas, terutama lewat seratus kitab
lebih hasil karyanya, yang pengaruhnya terus terasa hingga hari ini.
Juga kisah enam Tuan Guru (Guru Marzuqi, Guru Mughni, Guru Manshur, Guru Majid,
Guru Ramli, dan Guru Khalid) para jago ilmu tanah Betawi tempo dulu yang hadir
sebagai simpul pengikat mata rantai keilmuan dari hampir setiap ulama Jakarta
di kemudian hari. Hingga munculnya sosok ulama besar dari bilangan Kwitang yang
menghabiskan usianya di jalan dakwah dan penyebaran ilmu-ilmu agama, yaitu
Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, pendiri Islamic Centre of Indonesia.
Begitulah kota Jakarta. Sejak dahulu di saat rimbunnya pepohonan masih menebar
hawa sejuk keshalihan di seluruh penjuru kota ini hingga sekarang tatkala
keberkahan udara sejuk itu seakan tersapu oleh bubungan asap polusi maksiat
kota metropolitan, Jakarta hampir tak pernah sepi melahirkan tokoh-tokoh ulama
berbobot yang turut menghias indah sejarah perjalanan syi’ar Islam di
Nusantara.
Nama-nama ulama di atas tentunya hanya sebagian kecil dari begitu banyaknya
para ulama dan habaib Jakarta yang telah berhasil menorehkan tinta emas dakwah
di masa lalu. Kemunculan para tokoh ulama itu dari waktu ke waktu, menjadi paku
kota Jakarta, yang telah berperan sesuai tantangan di zamannya masing-masing.
Kehadiran mereka adalah pertanda akan keberadaan gairah ilmu-ilmu agama yang
cukup besar. Mereka sendiri besar lewat gairah keilmuan itu, di tengah-tengah
kultur pendidikan agama kota Jakarta yang memang tidak banyak memunculkan
pondok-pondok pesantren seperti di daerah-daerah lainnya.
Gairah keilmuan itulah yang pada saat ini harus digelorakan kembali
keberadaannya. Pada sisi lain, pemandangan keberagamaan masyarakat kota Jakarta
saat ini cenderung memberi ruang yang lebih pada mereka yang hanya pandai
bermain kata di depan forum-forum diskusi atau di layar kaca. Sebuah
pemandangan yang mengundang rasa keprihatinan di sementara pihak yang terus
berharap agar gairah keilmuan yang pernah ada tidak lantas tergerus oleh
kecenderungan itu.
Di antara mereka, K.H. Saifuddin Amsir, seorang ulama asli Betawi, termasuk
yang sangat merasakan keprihatinan tersebut. Pada banyak kesempatan ia sering
kali mengingatkan, bila umat Islam ingin mereguk ilmu-ilmu agama dari mata
airnya yang jernih, jangan sekali-kali meninggalkan para ulama, yang memiliki
dasar ilmu yang dalam, dan mudah terpesona oleh retorika sejumlah tokoh dengan
sederet titel akademis yang sesungguhnya rapuh dalam keilmuan.
Tak cukup menyimpan rasa prihatin yang mendalam dan berkepanjangan, saat ini ia
juga tengah menggarap berdirinya sebuah institusi yang diharapkannya dapat
menjadi salah satu pilar gerakan ilmiah dalam menjaga tradisi keilmuan para
ulama, sebagai kelanjutan dari dua puluhan lebih majelis ilmu yang telah
dirintisnya sejak masih usia belasan tahun.
Bukan dari Kalangan Pesantren
K.H. Saifuddin Amsir bukan putra seorang ulama, dan tidak dibesarkan di
lingkungan pesantren. Ia, yang lahir di Jakarta pada tanggal 31 Januari 1955,
tumbuh dan besar di sebuah keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya, Bapak Amsir
Naiman, “hanya” seorang guru mengaji di kampung tempat tinggalnya, Kebon
Manggis, Matraman. Sedangkan ibunya, Ibu Nur’ain, juga “hanya” seorang ibu
rumah tangga yang secara penuh mengabdikan diri untuk mengurus keluarga.
Sejak kecil, putra kelima dari sepuluh bersaudara ini sudah diajari sifat-sifat
yang menjadi teladan bagi dirinya kelak di kemudian hari. Dengan keras sang
ayah mendidiknya untuk berperilaku lurus dan mandiri. Tidak ada kompromi bagi
suatu pelanggaran yang telah ditetapkan ayahnya. Bersama sembilan orang
saudaranya, ia dibiasakan untuk menunaikan shalat secara berjamaah.
Keinginan kuatnya dalam menimba ilmu-ilmu agama sudah terpatri kuat sedari
kecil. Menyadari bahwa dirinya bukan berasal dari keluarga ulama dan juga bukan
dari kalangan yang berada, Saifuddin kecil menyiasatinya untuk berusaha mandiri
dan tidak bergantung kepada kedua orangtuanya. Ia berusaha menutupi biaya
kebutuhan pendidikannya sendiri, bahkan sejak ia masih duduk di bangku sekolah
dasar.
Berkat ketekunannya dalam belajar, ia pun selalu mendapat beasiswa dari pihak
sekolah. Kegigihannya dalam terus mempelajari berbagai macam ilmu secara
otodidak maupun berguru pada ulama-ulama terkemuka di masa-masa mudanya, telah
menjadikannya sebagai salah seorang ulama Jakarta yang cukup disegani saat ini.
Di waktu kecil, selain mengaji kepada kedua orangtuanya sendiri, ia juga
belajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Washliyah. Di sela-sela waktunya, ia
mempelajari berbagai macam ilmu secara otodidak. Ia juga senang membaca
berbagai macam bacaan sejak masih kecil. Sewaktu duduk di bangku tsanawiyah, ia
mulai banyak berguru ke beberapa ulama di Jakarta.
Di antara ulama yang tercatat sebagai guru-gurunya adalah K.H. Abdullah
Syafi’i, Muallim Syafi’i Hadzami, Habib Abdullah bin Husein Syami Al-Attas, dan
Guru Hasan Murtoha. Kepada guru-gurunya tersebut, ia mempelajari berbagai
cabang ilmu-ilmu keislaman. Pada saat menimba ilmu kepada Habib Abdullah Syami,
di antara kitab yang ia khatamkan di hadapan gurunya itu adalah kitab Minhajuth
Thalibin (karya Imam Nawawi) dan kitab Bughyatul Mustarsyidin (karya Habib
Abdurrahman Al-Masyhur).
Di lain sisi, setelah pendidikan formalnya di jenjang pendidikan dasar dan
menengah usai ia lewati, ia menjadi mahasiswa di Fakultas Syari’ah Universitas
Islam Asy-Syafi’iyyah (UIA) dan mendapat gelar sarjana muda di sana. Kemudian
ia merampungkan gelar sarjana lengkapnya di Fakultas Ushuluddin Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, atau Universitas Islam Negeri
(UIN) Jakarta saat ini.
Dari waktu ke waktu dalam menempuh pendidikan formalnya itu, ia selalu
menorehkan prestasi yang gemilang. Sewaktu lulus aliyah, ia tercatat sebagai
lulusan aliyah dengan nilai terbaik se-Jakarta. Tahun 1982 ia mendaftarkan diri
di Jurusan Akidah dan Filsafat IAIN saat jurusan itu baru dibuka oleh Rektor
IAIN Prof. Dr. Harun Nasution, M.A. dalam sebuah program pendidikan yang saat
itu dinamakannya sebagai Program Doktoral.
Karena berbagai prestasi yang telah dicapai sebelumnya, ia menjadi satu-satunya
mahasiswa yang diterima di IAIN tanpa melewati tes masuk pada tahun itu. Dan
setelah merampungkan masa kuliahnya, di waktu kelulusan lagi-lagi ia tercatat
sebagai lulusan IAIN terbaik.
Tidak Berminat pada Gelar
Kiprah kiai yang akrab dipanggil Buya ini dimulai sejak ia masih kecil dengan
mengajar ngaji dan menjadi qari’ di beberapa mushalla dan masjid di sekitar
daerah tempat tinggalnya. Beranjak remaja, ia mulai dikenal sebagai seorang
muballigh.
Pada mulanya, ia sendiri tidak terlalu berminat menjadi seorang penceramah. Ia
lebih menyukai mengajar dan menjadi qari’. Karena desakan rekan-rekannya yang
mengetahui potensi dirinya dalam berdakwah, ia pun mulai bersedia berdiri di
atas mimbar-mimbar ceramah, di samping aktivitas mengajar di belasan majelis
ta’lim rutin yang masih diasuhnya hingga saat ini.
Kiprahnya dalam bidang pendidikan formal dimulai saat ia menjadi guru di
Yayasan Pendidikan Asy-Syafiiyyah, pimpinan K.H. Abdullah Syafi’i, tempat ia
mulai menimba ilmu-ilmu secara lebih intensif. Selain menjadi guru sejak tahun
1976 di Asy-Syafi’iyyah, ia juga menjadi dosen pada universitas yang ada di
yayasan tersebut. Pada tahun 1980, saat ia baru menginjak usia 25 tahun, ia
dipercaya menjadi kepala sekolah Madrasah Aliyah (MA) Al-Ikhsan, Condet,
Jakarta Timur.
Sejak tahun 1986 hingga sekarang, ia bertugas sebagai dosen di Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Di
almamater tempat ia sempat menimba ilmu selama beberapa tahun ini, kapasitas
keilmuannya membuatnya pernah tercatat mengajar hingga 17 mata kuliah berbeda
di sepuluh tahun pertama ia mengajar di sana. Saat itu sistem kepengajaran
belum “setertib” sebagaimana sekarang, hingga ia pernah mengajar mata kuliah
Ilmu Hadits, Tafsir, Manthiq, hingga mata kuliah Filsafat Barat.
Aktivitas akademisnya ini juga dilengkapi dengan tugas dari instansinya untuk
membimbing para mahasiswa dalam melakukan dialog dengan tokoh-tokoh lintas
agama dan aliran kepercayaan. Pada tahun 1990 ia mendapat tawaran dari
Universitas Nasional untuk menggantikan posisi Dr. Nurcholis Madjid, yang saat
itu sedang tidak ada di Indonesia, dalam menulis di jurnal filsafat berskala
internasional. Karena beberapa pertimbangan, ia memilih untuk tidak mengambil
tawaran itu.
Bila memperhatikan perjalanan hidupnya jauh sebelum ini, ternyata ia juga
seorang yang memiliki kepedulian yang kuat dan visi yang jauh terhadap berbagai
isu yang berkembang di tengah masyarakat. Di era tahun 1990-an, ia menjadi juru
bicara Forum Silaturrahmi Ulama dan Habaib saat menuntut pembubaran SDSB
sewaktu berdialog dengan para anggota DPR kala itu.
Saat tuntutan reformasi bergejolak kuat di tahun 1998, ia juga pernah didaulat
untuk turut berorasi di kampus UI Depok mewakili komponen masyarakat dan ulama
sehubungan dengan tertembak matinya beberapa mahasiswa Trisakti. Pada tahun
yang sama, ia berada pada barisan terdepan sebagai deklarator yang menolak
minat beberapa LSM untuk membentuk Kabinet Presidium, yang dianggapnya dapat
menuntuhkan negara.
K.H. Saifuddin Amsir juga aktif sebagai narasumber pada banyak seminar dan
diskusi ilmiah berskala nasional dan internasional, serta pada rubrik-rubrik
keagamaan di stasiun-stasiun televisi, radio, dan media cetak. Selain di UIN,
ia juga menerima amanah tugas yang tidak sedikit di beberapa institusi lainnya.
Di antaranya, ia ditunjuk sebagai direktur Ma’had Al-Arba’in, staf ahli Rektor
Universitas Islam Asy-Syafi’iyyah, dan menjadi anggota Dewan Pakar Masjid Agung
Sunda Kelapa, Jakarta Pusat. Pada tahun 2004, ia ditunjuk menjadi salah seorang
rais Syuriah PBNU.
Di sela-sela berbagai kesibukannya itu, saat ini ia juga masih tercatat sebagai
ketua umum Masjid Jami’ Matraman. Namun, setelah sekian lama ia melazimi
majelisnya para ulama besar Jakarta serta menggeluti kitab-kitab padat ilmu
karya para ulama klasik dan kemudian ia bandingkan dengan kadar keilmuan yang
ada di strata kesarjanaan selanjutnya, ia menjadi tidak tertarik untuk melanjutkan
pendidikan formalnya ke jenjang yang lebih tinggi. Sudah sejak lama ia tidak
berminat pada atribut-atribut akademis dan gelar titel kesarjanaan yang
menurutnya telah banyak dinodai oleh sementara orang yang menjadikan itu hanya
sebagai aksesori penambah prestise atau bahkan menjadi komoditas pendukung
untuk mencari keuntungan-keuntungan pribadi.
Pola pandangnya yang seperti ini membuatnya lebih menghargai khazanah ilmu yang
beredar di majelis-majelis ilmu para ulama ketimbang menyisihkan waktu lagi untuk
meraih gelar pascasarjana.
Ketokohan K.H. Saifuddin Amsir memang ketokohan yang berbasiskan keilmuan,
bukan karena gelar yang disandangnya. Namanya semakin dikenal orang karena
keluasan ilmunya yang diakui banyak pihak. Karakteknya yang low profile menjadi
bukti bahwa popularitasnya saat ini tidak dibangun lewat sebuah proses karbitan
yang direkayasa, tapi bentuk pengakuan publik yang mengapresiasi kedalaman
ilmunya.
Betawi Corner
Di samping itu, ia juga merasa prihatin atas orientasi pemahaman keagamaan umat
Islam zaman sekarang yang tak lagi menolehkan pandangan kepada khazanah ilmu
peninggalan para ulamanya sendiri. Mereka kemudian lebih tertarik pada
pembahasan-pembahasan Islam sekuler dan sebagainya, yang sebenarnya rapuh dasar
keilmuannya.
Padahal dulu, para cendekiawan Prancis yang dikumpulkan oleh Napoleon Bonaparte
untuk mempelajari kitab-kitab karya para ulama setelah ia merampasnya dari
perpustakaan-perpustakaan muslimin saat itu, misalnya, sedemikian
terkagum-kagum terhadap ilmu historiografi dalam tradisi keilmuan masyarakat
muslim.
Saat menelaahnya, mereka terinspirasi dengan ilmu hadits dan ilmu-ilmu
keislaman lainnya yang sangat memperhatikan sanad dan sedemikian ketat
memperhatikan berbagai rujukan sebagai pertanda betapa masyarakat Islam sangat
menghargai ilmu dan sejarahnya. Bukan cuma terinspirasi, bahkan mereka kemudian
juga menjadikan karya-karya itu sebagai rujukan penting bagi mereka. Saat itu,
dunia Barat merasa sangat berkepentingan untuk mempelajari khazanah ilmu kaum
muslimin, yang di kemudian hari menjadi akar pencerahan bagi peradaban keilmuan
mereka.
Dalam berbagai majelisnya, ia tak pernah bosan mengingatkan umat untuk
memperhatikan masalah tersebut. Karena itu, dengan dukungan dari berbagai
pihak, terutama dari pihak Jakarta Islamic Centre, saat ini ia tengah merintis
berdirinya suatu lembaga pengkajian yang memagari kemodernan cara berpikir
dengan kemurnian ilmu agama yang jernih. Lembaga dengan karakteristik bernuansa
Betawi itu ia namakan Betawi Corner.
Di samping sebagai tempat untuk mengkaji khazanah kebudayaan dan ilmu-ilmu
keislaman dan meng-counter pemikiran-pemikiran dan pemahaman keagamaan yang
destruktif, Betawi Corner juga dimaksudkannya sebagai tempat berdiskusi dan
bermusyawarah bagi para ulama dan masyarakat Betawi.
Menjauhi Yang Syubhat
Di dalam keluarga, K.H. Saifuddin Amsir adalah sosok seorang ayah yang
sederhana, demokratis, sabar, tapi tegas dalam hal mendidik anak. Ayah empat
orang putri ini adalah seorang yang sangat mengutamakan keluarga dan sangat
memperhatikan sisi pendidikan anak-anaknya. Ia menyadari, ilmu pengetahuan
adalah warisan terbaik kepada anak-anaknya kelak.
Pendidikan dalam keluarganya dimulai dengan menerapkan aturan-aturan yang harus
ditaati segenap anggota keluarga, dengan bersandar pada pola hidup yang
diterapkan Rasullullah SAW. Pola hidup yang dimaksud adalah pola hidup
sederhana dan menjauhi hal-hal yang syubhat.
Menurut Hj. Siti Mas’udah, istrinya, K.H. Saifuddin Amsir adalah ayah sekaligus
guru dan sahabat bagi istri dan putri-putrinya. Ia senantiasa menekankan
pentingnya agama dan ilmu kepada anak sejak mereka masih kecil. Shalat
berjamaah adalah suatu keharusan dalam keluarga ini.
Dalam hal makanan, ia tidak memperkenankan anggota keluarganya mengonsumsi
makanan-makanan yang belum terjamin kehalalannya, seperti makanan-makanan
produk luar negeri. Sejak dari usia bayi, mereka juga sudah dijauhkan dari
makanan-makanan yang belum terjamin kesehatannya, seperti makanan-makanan yang
banyak menggunakan bahan pengawet, makanan siap saji, atau makanan yang
menggunakan bahan-bahan penyedap.
Setali tiga uang, istrinya, yang akrab disapa Umi, juga tidak kurang perannya
dalam membentuk citra kebersahajaan dan kemandirian dalam keluarga. Di samping
menangani segala urusan rumah tangga, mulai dari memasak, mencuci, bahkan
menjahit, ia juga masih menyempatkan diri aktif pada bidang-bidang sosial
keagamaan dan mengajar di sejumlah majelis ta’lim.
Dengan menerapkan pola pembinaan dan pendidikan keluarga yang demikian, ia
telah berhasil menjadikan putri-putrinya sebagai insan-insan pecinta ilmu agama
dan pengetahuan. Banyak sudah yang telah diraih keempat putrinya itu. Mengikuti
jejak sang ayah, mereka selalu mendapatkan beasiswa dan menjadi lulusan terbaik
di almamaternya. Bahkan si bungsu, Rabi’ah Al-Adawiyah, misalnya, sejak berusia
12 tahun sudah hafal tiga puluh juz Al-Quran dengan baik.
Orang Jakarte, siapa yang tak kenal nama KH Abdullah
Syafii (alm) dan Perguruan Assyafi’iyah. Sedangkan bagi penduduk Jakarta,
setidaknya mengenal nama ulama kharismatis ini sebagai nama jalan terusan
Casablanca-Tebet Jakarta Selatan.
Syahdan,
dengan kapal layar, pada pertengahan abad ke-19 (1834), Syaikh Junaid, seorang
ulama Betawi, menuju Mekah. Di sana ia bermukm dengan menggunakan nama
al-Betawi. Kefasihannya amat termashur karena beliau dipercaya menjadi imam
Masjidil Haram.
Syaikh Junaid al Betawi, yang diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama
mashab Syafi’ie, juga mengajar agama di serambi Masjidil Haram. Muridnya banyak
sekali. Bukan hanya para mukiman dari Indonesia, juga mancanegara. Nama Betawi
menjadi termashur di tanah suci berkat Syaikh kelahiran Pekojan, Jakarta Barat,
ini.
Syaikh Junaid mempunyai dua putera dan puteri. Salah satu puterinya menikah
dengan Abdullah al Misri, seorang ulama dari Mesir, yang makamnya terdapat di
Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Seorang puteri lainnya menikah dengan Imam
Mujitaba. Sedangkan kedua puteranya, Syaikh Junaid As’ad dan Arsyad, menjadi
pelanjut ayahnya mengajar di Masjidil Haram. Syeh Junaid wafat di Mekah pada
1840 dalam usia 100 tahun.
Di antara murid Syeh Junaid yang sampai kini kitab-kitabnya masih tersebar di
dunia Islam adalah Syaikh Nawawi al Bantani, keturunan pendiri kerajaan Islam
Banten, Maulana Hasanuddin (putera Syarif Hidayatullah). Karenanya, setiap haul
Syaikh Nawawi, selalu dibacakan fatihah untuk arwah Syaikh Junaid.
Imam Mujitaba, yang menetap di Mekah, menikah dengan putri Syaikh Junaid. Pasangan
ini menurunkan Guru Marzuki, tokoh ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta
Timur. Karena alimnya, guru Mujitaba diberi gelar waliyullah oleh masyarakat
Islam di tanah suci. Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, Guru Mujitaba satu
angkatan dengan mukimin Indonesia lainnya seperti Syaikh Nawawi al Bantani dan
Syaikh Ahmad Khatib al Minangkabawi.
Sedangkan putera almarhum guru Marzuki, yang hingga kini memiliki perguruan di
Rawabunga, Jakarta Timur, mendapat gelar birulwalidain karena begitu berhidmatnya
kepada kedua orang tuanya.
Guru Marzuki memiliki sejumlah murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di
Indonesia. Salah satunya adalah KH Abdullah Syafi’ie, yang mendirikan dan
mengembangkan Perguruan Assyafiiyah dengan sekolah mulai dari TK sampai perguruan
tinggi.
KH Abdullah Sjafi’ie (wafat 3/9-1985) bersama putera-puterinuya menangani 63
lembaga pendidikan Islam. Sedangkan masjid Al-Barkah di Kampung Bali Matraman,
Jakarta Selatan, yang dibangun pada 1933 saat kyai berusia 23 tahun, merupakan
masjid yang megah hingga sekarang.
Semuanya berawal dari mushola bekas kandang sapi, yang dijadikan cikal bakal
Perguruan Asyafiiyah.
Kini pengajian Ahad pagi di Masjid Ak-Barkah selalu yang diikuti ribuan jamaah.
KH Abdullah Syafi’ie perguruannya menghasilkan ribuan orang diantara mereka
kini menjadi tokoh agama dan pimpinan majelis taklim di berbagai tempat di
Indonesia.
KH Abdullah Syafi’ie adalah figur yang mampu mengkombinasikan dua arus besar
pemikiran yang berkembang di lingkungan masyarakat Islam. Dalam diri beliau
tercermin betul warna NU dan Muhammadiyah-an. Toh beliau mampu menjadikan diri
sebagai model kombinasi yang menarik itu. Di bidang politik, beliau pada Pemilu
1955 berkampanye untuk partai Masyumi.
Ajaran birulwalidain dari Guru Marzuki, juga diwariskan KH Abdullah Syafi’ie
kepada putranya, KH Abdul Rasyid Abdullah Syafii. Salah satu tanda baktinya
kepada ayahanda, KH Abdul Rasyid memberi nama pesantren yang didirikannya di
Pulo Air, Sukabumi, sebagai Pesantren KH Abdullah Syafi’ie.
Dirintis pada 1990-an, Pesantren al Qur’an tersebut berdiri di atas tanah wakaf
pengusaha restauran Sunda, Haji Soekarno (alm). Tanah itu awalnya berupa taman
rekreasi Pulo Air seluas 3,3 hektar.
Pertama kali dibuka, jumlah santrinya hanya 13 murid SD. Namun seiring dengan
berjalannya waktu, perkembangannya kini sungguh amat pesat.
Sekarang saja Pesantren KH. Abdullah Syafii telah menempati tanah seluas 27 ha
dengan sarana bangunan yang dimiliki terbilang lengkap. Santrinya lebih dari
650 orang yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan pernah ada
yang berasal dari Malaysia, Brunai Darussalam, Singapura, maupun dari Jeddah,
Saudi Arabia.
Selain belajar dan Menghafal al Quran mereka pun belajar pengetahuan umum yang
diajarkan mulai dari TK, SD, SMP, SMU. Demikianlah warna pesantren KH. Abdullah
Syafi’i, ia memadukan gaya pesantren hafidz Qur,an dengan sekolah umum.
Untuk meningkatkan imtaq dan iptek para santrinya ini, pengelola pesantren
tidak setengah-setengah mewujudkannya. Tiap sekolah yang berada di bawah
koordinasi pondok telah menyediakan laboratorium tersendiri di bidang fisika,
komputer dan bahasa. Pesantren ini juga memiliki sarana asrama yang amat
bersih, juga masjid yang cukup memadai di tengah kampus. Dalam dua tahun
terakhir ini malah telah berdiri stasion radio FM Pulo Air .
Pekan lalu, wartawan Suara Islam sempat bermalam di sana. Pagi hari jam 04.00
WIB, kehidupan pesantren sudah mulai menggeliat. Santri-santri cilik sudah
mulai dibangunkan (sebagian bahkan ada santri balita). Air jernih Pulo Air
segera mengguyur badan hangat santri yang segera berbenah ke masjid menyongsong
panggilan adzan subuh.
Suasana ritual khas pesantren segera hadir, mulai dari shalat berjamaah subuh
dan wirid-wiridnya, disusul penghafalan Qur’an oleh seluruh santri di
sudut-sudut halaman dan ruangan yang tersedia. Menghafal al Quran ini memang
merupakan ciri khas dari Pesantren al-Qur’an KH. Abdullah syafi’ie. Kini telah
ratusan orang diwisuda, di antaranya hafal sampai 30 juz penuh. Sebagian dari
para alumni mulai dikenal di berbagai universitas Islam di berbagai negara
seperti di Mesir, Madinah dan negara Timur Tengah lainnya.
Pesantren ini lokasinya di pinggir lintas Jalan Raya Sukabumi ke arah Cianjur
kilometer 10. Panoramanya sungguh menawan. Dinaungi cuaca sejuk lereng Gunung
Gede. Dari dalam tanah menyembul sejumlah titik sumber air jernih dengan debit
air jutaan meter kubik yang seolah tiada batasnya. Wajar saja bila Pesantren
KH. Abdullah Syafi’ie ini merupakan pesantren yang air bersihnya terkaya di
seluruh Indonesia.
Selain itu, warna Assyafi’iyah dan Betawi yang khas akan terasa gaungnya saat
Pesantren KH. Abdullah Syafi’ie mengadakan acara tahunannya berupa Wisuda
Santri dan Haul yang biasanya digelar setiap bulan September. Acara Haul KH.
Abdullah Syafii yang ke 21 dan HUT Pesantren yang ke 16 akan diselenggarakan
pada 3 September 2006 bersamaan 10 Syaban 1427 H.
Seperti tahun yang sudah-sudah, beberapa pejabat tinggi negara akan hadir. Kali
ini dikabarkan akan hadir Menag Maftuf Basyuni, Ketua Mahkamah Konstitusi Pro.
Dr. Jimly Asshiddiqie SH, deretan tokoh Islam, habaib, ulama, juga orang tua
santri dari berbagai kota di seluruh Indonesia.
Yang istimewa tentulah hadirnya jamaah Assyafi’iyah yang sengaja datang dari
seluruh pelosok Jakarta dan sekitarnya. Lebih seratus bus besar Hiba
diperkirakan akan memenuhi jalan sepanjang Jagorawi hingga ke
Sukabumi-Cianjur.Tak ayal seperti tahun-tahun yang lalu konvoi bus berbagai
majlis talklim ibukota ke arah Pulo Air ini memacetkan jalan ke arah Sukabumi.
Suasana Haul Wafatnya KH.Abdullah Syafi’i dan Wisuda Santri ini dipadukan
dengan acara Maulud Nabi dan Isra-Mi’raj. Sementara itu jamaah yang datang ke
lokasi pesantren benar-benar akan mendapatkan rekreasi. Anak-anak dengan
sukacitanya akan berlari-larian di komplek pesantren, sebagian lain mandi ke
kolam renang di dua lokasi terpisah. Sementara di panggung acara yang disesaki
puluhan ribu jamaah, tekun mengikuti acara resmi. Pidato-pidato pejabat tinggi,
ulama, habaib bagai memindahkan suasana di Bali Matraman dengan Tabligh
akbarnya ke Pulo Air.Tak pelak suasana berwarna khas Betawi kini merambah
Puloair Sukabumi.
Bedanya, acara di Pulo Air ini dipadu dengan penampilan para santri dalam
kemahirannya melafadzkan ayat-ayat al Qur’an. Bahkan dengan demonstrasi hafal
30 juz, kemahiran santri berpidato bahasa Inggris, Arab, Indonesia, dan
berbagai atraksi seni lainnya.
Seperti tahun sebelumnya, pengunjung dibuat terpukau oleh penampilan para
santri Pesantren KH. Abdullah Syafii ini. Sejumlah pejabat tinggi negara sejak
1990 berganti-ganti menjadi saksi sukses yang diraih pesantren di Pulo Air ini,
mulai Habibie, Tarmidzi Taher, Hamzah Haz, hingga menteri zaman SBY, seperti
MS.Kaban, Maftuh Basyuni dan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie.
Ditemui di Pulo Air, Pimpinan Perguruan Assyafiiyah dan Pesantren KH. Abdullah
Syafii, KH. Abdul Rasyid AS, berulang-ulang menyatakan rasa syukur tak
terhingga dengan perjalanan pesantren yang diasuhnya ini lebih 16 tahun
terakhir.
Semua orang dahulu tatkala menerima wakaf dari Bapak Haji Soekarno, merasa ragu
bisakah tanah 3,3 Ha wakaf ini bisa dikembangkan menjadi pesantren maju? Bisa
dimaklumi saat itu kata Kyai Rasyid kondisinya sekadar tanah dan air melimpah
belaka. Kini alhamdulillah puluhan bangunan sudah berdiri dan setiap tahun
insya Allah akan terus dibangun.
Bahkan Kyai Rasyid mengangan-angankan berdirinya sebuah Universitas Islam yang
besar di lokasi pesantrennya ini. Untuk merealisasikan rencana itu telah
disediakan tanah di pinggir jalan besar. Rencananya, juga akan dilengkapi
sebuah masjid monumental. Bisakan rencana itu terwujud?
Seperti pada 1989 lalu mula-mula rencana besar itu bagai fatamorgana layaknya,
tapi insya Allah jika kita bekerja keras, itu semua akan terwujud. []
Selintas Macan Betawi
KH
Abdullah Syafi’ie, yang populer sebagai ”Macan Betawi”, lahir di Kampung Bali
Matraman, Jakarta Selatan pada 16 Sya’ban 1329 H./10 Agustus 1910 hari Sabtu.
Nama ayahnya H. Syafi’ie Bin Sairan dan ibundanya Nona Binti Asy’ari. Mempunyai
dua orang adik perempuan yang bernama H. Siti Rogayah dan H. Siti Aminah.
Kedua orangtuanya cinta kepada orang-orang alim dan soleh sehingga dari sejak
kecil sudah diarahkan untuk belajar ilmu agama.
Sambil belajar, menuntut ilmu terus mengajar. Pada umur 17 tahun sudah
memperoleh surat pemberian tahoe: boleh mengajar di langgar partikulir.
Ketika berumur 23 tahun mulai membangun Masjid Al Barakah di Kampung Bali
Matraman. Di situlah Almarhum lebih menekuni pembinaan masyarakat-ummat
mengajak mereka ke jalan Allah.
Sekitar tahun 30-an, da’wahnya lebih meluas lagi mencapai daerah sekitar
Jakarta dan almarhum menuntut ilmu ke Bogor (Habib Alawy Bin Tohir Alhaddad).
Sekitar tahun 40-an, membangun tempat pendidikan yaitu madrasah tingkat
Ibtidaiyah, dan secara sederhana mulai menampung pelajar-pelajar yang mukim
(tinggal) terutama dari keluarga.
Pada tahun 1957 membangun AULA AS-SYAFI’IYAH yang diperuntukkan bagi madrasah
tingkat Tsanawiyah Lilmuballighin wal Muallimin.
Tahun 1965 mendirikan Akademi Pendidikan Islam As-Syafi’iyah (AKPI
As-Syafi’iyah).
Tahun 1967 mendirikan Stasiun Radio As-Syafi’iyah, tahun 1969 AKPI ditingkatkan
menjadi UIA.
Tahun 1968 merintis tempat pendidikan disuatu desa pinggiran Jakarta, yaitu
Jatiwaringin Kecamatan Pondokgede Bekasi sebagai pengembangan dari pendidikan
yang telah ada.
Pada tahun 1974-1975 membangun pesantren putra dan pesantren putri di
Jatiwaringin.
Pada tahun 1978 membangun pesantren khusus untuk Yataama dan Masaakin.
Pengembangan sarana untuk pendidikan dan pesantren terus dikembangkan ke
sekitar Jakarta seperti Cilangkap-Pasar Rebo, di Payangan-Bekasi, Kp.
Jakasampurna-Bekasi dll.
Tahun 1980 mulai menyiapkan lokasi untuk kampus Universitas Islam As-Syafi’iyah
di Jatiwaringin.
Almarhum pernah menjabat sebagai Ketua I Majlis Ulama Indonesia pada periode
pertama dan juga sebagai Ketua Umum Majlis Ulama DKI periode pertama dan kedua.
Almarhum banyak memikirkan tentang pendidikan untuk menghadirkan ulama untuk
masa yang akan datang dengan mendirikan Pesantren Tinggi yaitu Ma’had Aly
DAARUL ARQOM As-Syafi’iyah di Jatiwaringin.
Almarhum berhati lembut : merasa pedih hatinya dengan penderitaan ummat
terutama jika ummat mendapat musibah dalam urusan agama. Almarhum segera
berusaha memberikan petunjuk dan pengarahan serta mencarikan jalan-jalan
keluarnya.
Selalu mengajak ummat kepada Tauhidullah dan AQIDAH ala thoriqoh Alissunnah wal
jama’ah. Dimana-mana
beliau berdakwah dan berceramah selalu mengajak jama’ah untuk beristighfar dan
mengumandangkan kalimatuttauhid: La ilaaha illallaah Muhammadurrasulullah.
Jiwa dan semangatnya membangun ummat untuk menghidupkan syi’arnya agama Islam.
Mendirikan masjid-masjid, musholla dan madrasah serta pesantren-pesantren.
Menggalakkan ummat untuk berani dan suka beramal jariah, infak dan shodaqoh
serta berwakaf.
Mengajak Ulama dan Asatidzah untuk bersatu. Memberikan kesempatan kepada
Asatidzah dan Ulama-ulama muda untuk tampil ditengah masyarakat.
Menyelenggarakan Majlis Muzakarah Ulama dan Asatidzah.
Menyantuni para dhu’afaa (kaum yang lemah) dengan bantuan berupa beras,
pakaian, uang dll.
Pada Selasa dinihari jam 00.30 KH Abdullah Syafi’ie berpulang ke rahmatullah
saat menuju rumah sakit Islam. Dishalatkan di masjid Al Barkah Bali Matraman
oleh puluhan ribu ummat Islam secara bergelombang dipimpin oleh para Alim
Ulama. Turut serta tokoh-tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah. Dimakamkan
pada hari selasa tgl. 18 Dzulhijjah 1405 H./ 3 September 1985 di Komplek
Pesantren Putra As-Syafi’iyah Jatiwaringin Pondokgede dengan dihantarkan oleh
ratusan ribu ummat Islam.