Al Marhum Al Maghfurlah KH. Zayadi Muhajir (pendiri PonPes Az Ziyadah, Klender)
Add caption |
K.H.
Zayadi dikenal sebagai pribadi yang sederhana dan ulama yang mempunyai
akhlaq terpuji, sabar, tawadhu, berpendirian teguh, dan berusaha
mencari keridhaan gurunya, sehingga wibawa dan kharismanya sangat
tampak dan diakui oleh masyarakat.
Anak yatim, fakir miskin, dan janda yang
kurang mampu, semuanya diberi shadaqah, terutama pada tanggal 10
Muharam. Saat itulah, halaman Perguruan Az-Ziyadah selalu ramai oleh
kaum dhu’afa. Bahkan, anak yatim dan anak kurang mampu yang sekolah
disana dibebaskan dari bayaran bulanan dan diberi bantuan berupa
keperluan belajar yang lain.
Dalam kehidupan sehari-hari, K.H. Zayadi
suka dan tekun beribadah, terutama dalam bulan Ramadhan. Pada malam
hari, ia hanya tidur seperlunya. Begitu pula setelah sholat shubuh.
Sejak muda K.H. Zayadi kerap melakukan
sholat sunnah dan wiridan. Ia tidak memiliki pesawat radio, apalagi
televisi. Baginya, kedua benda tersebut mengajak orang lupa kepada
Allah.
K.H. Zayadi lahir pada 23 Desember 1918
di Kampung Tanah 80, Klender, Jakarta Timur. Ia anak dari pasangan H.
Muhajir bin Ahmad Gojek bin Dato Muh. Sholeh dan Umi Anisah. Dari garis
ayahnya, K.H. Zayadi adalah cucu ulama Banten, K.H. Muhammad Sholeh
yang dikenal sebagai “Mu’allim Ale”. Dia hijrah dan menetap di Kampung
80. ibunya wanita asli Betawi.
Masa kecilnya penuh kebahagiaan. Semua
kebutuhannya dipenuhi oleh semua kebutuhannya dipenuhi oleh kedua orang
tuanya dan juga pamannya dari pihak ibu yang tidak punya keturunan.
Nama pamannya ini Taberih.
Pada tahun 1938, ketika menginjak umur
20 tahun, dia dinikahkan dengan Asmanih binti H. Kirom. Tapi hal ini
tidak menghalanginya untuk tetap belajar mengaji di Kampung Bulak,
Cipinang Muara, yang telah diikutinya. Pernikahannya itu memang atas
inisitif guru mengajinya K.H. M. Thohir.
Namun, pasangan ini tidak dikaruniai
keturunan, sampai Asmanih meninggal dunia pada 22 November 1986, saat
usia pernikahan mereka mencapai 48 tahun. Sebelumnya, Asmanih sudah
mempersilahkan K.H. Zayadi menikah lagi, namun ia tidak bersedia.
Sebulan sesudah kematian istri pertama,
barulah Zayadi menikah lagi dengan Siti Fatimah binti K.H. Hasbiyallah,
Klender, yang baru berumur 17 tahun. Mertuanya kali ini teman
sepengajian waktu di Rawa Bangke dan Cipinang Muara. Pasangan iksan
berumur 17 tahun dan 68 tahun ini justru dikaruniai empat anak, lelaki
semua.
Pada umur 15 tahun, atas saran gurunya
K.H. M. Thohir, Cipinang Muara, dan K.H. R. Mustaqiem, Rawa Bening, ia
mendirikan Pondok Pesantren Az-Ziyadah. Tujuannya mencetak ulama,
disamping mencerdaskan bangsa dan mengembangkan ajaran Ahlusunnah wal
Jama’ah serta membentengi umat dari pengaruh kebudayaan Barat yang
bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Pada tahun 1972, ketika gedung madrasah
dan bangunan asrama santri berdiri permanent, jumlah santrinya mencapai
6.600 orang. Mereka itu murid dari tingkat ibtidaiyah sampai aliyah.
Bahkan pada tahun 1990, ia mendirikan sekolah Tinggi Agama Islam
Az-Ziyadah.
Pada tahun 1948, Zayadi, bersama istri
dan mertuanya, serta tujuh orang anggota keluarganya yang lain,
malakukan ibadah haji ke Tanah Suci. Dengan semangat tinggi, ia
kemudian menimba ilmu agama di Makkah.
Karena ibunya memintanya pulang, ia pun
kembali ke tanah air. “Buat apa ilmu tinggi kalau tidak mendapat restu
ibu,” komentarnya kala itu.
Ketika pulang dari Tanah Suci, ia dan
romobongan mendapatkan cobaan. Nahkoda memberitahukan, di kejauhan
badan topan dahsyat siap menghadang Zayadi kemudian meminta izin kepada
nahkoda untuk meminpin pembacaan “Maulid Barzanji” bersama penumpang
lain. Setelah selesai, ia bertanya kepada nahkoda, “Apakah badainya
masih jauh?” Ajaib, ternyata tidak terjadi gangguan sedikitpun.
“Alhamdulillah, itulah rahasia dibalik Maulid Barzanji,” demikian
komentarnya sambil mengangkat kesua belah tangannya ke udara.
Diantara gurunya adalah Habaib Ali bin
Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Guru Marzuki Muara, Habib Ali Husin
Alatas Bungur, Guru Hasan Kampung Tanah 80, Guru Karnain Pondok Bambu.
Pada hari Ahad 27 Maret 1994, kyai yang
dikenal luas dengan kemuliaan akhlaqnya ini wafat dalam usia 76 tahun
di Musholla Uswatun Hasanah di kaki Gunung Jati, Cirebon, ketika tengah
mengikuti ziarah Walisanga yang diadakan secara rutin sejak tahun
1974. Saat itu, ia tengah Sholat Jama’ Taqdim pada kira-kira pukul
13.30. Sebelum sholat, ia sempat berkata kepada jamaah, “Saya tidak bisa
mengikuti sholat kalian, dan kalian tidak bisa mengikuti sholat saya.”
Jenazah baru bisa dibawa ke Jakarta pada
pukul 22.00 dengan sambutan para murid dan kerabat yang telah menunggu
sejak sore hari. Sholat jenazah dilakukan dua kali, karena banyaknya
jamaah yang ingin mensholatkan di Mesjid Al-Husna di dalam kompleks
Perguruan Islam Az-Ziyadah.
Pada pukul 14.00 keesokan harinya,
jenazahnya dibawa ke tempat peristirahatannya yang terakhir di sebelah
barat mesjid tersebut. Di antara pelayat adalah Gubernur DKI Jakarta
pada saat itu Surjadi Soedirja, K.H. Idham Khalid. K.H. M. Syafi’I
Hadzami, Tuty Alawiyah, dan beberapa tokoh ulama, habaib, dan
masyarakat luas.
siapa yang bisa tauladani beliau, sungguh kemulian akhlaknya ......
BalasHapus