Habib Usman bin Yahya, Sang Mufti Batavia Pada Abad 19
Di Jakarta pada pertengahan abad 18 muncul seorang habaib karismatik. Ia adalah Habib Usman bin Yahya, yang pernah menjadi mufti Batavia di zaman Belanda.
Para
habib, khususnya ulamanya, sejak ratusan tahun punya hubungan akrab
dengan para ulama, kiai, santri, dan ustadz asli Betawi. Sejak datang
dari Hadramaut pada abad ke-18, dan puncaknya pada akhir abad ke-19,
mereka mendapat tempat yang baik di hati para ulama Betawi. Bahkan ada
yang mengatakan, kehadiran mereka ibarat siraman darah segar bagi
perkembangan Islam di tanah air.
Salah satu saksi bisu atas kehadiran para ulama habaib itu ialah Kampung Pekojan, tidak jauh dari China Town
di Glodok, Jakarta Barat. Sampai 1950-an, mayoritas warga Pekojan
terdiri dari keturunan Arab. Tapi belakangan, juga sampai saat ini,
keturunan Arab di Pekojan menjadi minoritas, sebab sebagian besar hijrah
ke kawasan selatan, seperti Tanah Abang, Jati Petamburan, Jatinegara,
dan kini Condet.
Jejak-jejak peninggalan Islam masih bisa kita temukan di sana. Lihatlah misalnya Masjid An-Nawir
(1760) yang lebih dikenal dengan Masjid Pekojan. Di belakang masjid
terdapat makam pendirinya, Syarifah Fatmah. Pada akhir abad ke-19,
masjid tersebut diperluas oleh Sayyid Abdullah bin Husein Alaydrus, tuan
tanah yang namanya diabadikan sebagai nama jalan, yaitu Jalan Alaydrus,
tempat ia dulu pernah bermukim.
Di
masjid inilah, Habib Usman bin Yahya, mufti Batavia, mengajar dan
memberikan fatwa sebelum pindah ke Jati Petamburan. Ia memang dilahirkan
di Pekojan. Ayahnya bernama Habib Abdullah bin Yahya. Ia kemudian
menjadi menantu seorang ulama Mesir yang juga bermukim di Pekojan, yaitu
Syaikh Abdurrahman bin Ahmad Al-Misri. Ia diangkat sebagai mufti
setelah selama belasan tahun belajar ilmu agama di 22 negara. Sebagai
pengarang kitab yang produktif, karyanya lebih dari 100 kitab, tebal
maupun tipis.
Beberapa kitabnya ada yang dikoleksi oleh Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta Pusat. Kitabnya yang populer antara lain Sifat Duapuluh dan Asyhadul Anam.
Habib Ustman adalah guru Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi (Habib
Kwitang), ulama besar yang 80 tahun silam mendirikan majelis taklim di
kediamannya, yang kemudian sangat terkenal.
Habib
Usman bin Abdullah Bin Yahya lahir di Pekojan, Jakarta tepatnya pada
tanggal 17 Rabiul Awal 1238 H (1822 M). Ayahnya bernama Habib Abdullah
bin Agil bin Umar Bin Yahya. Sedangkan ibunya adalah Asy-Syaikhah Aminah
binti Abdurrahman Al-Mishri. Pada usia tiga tahun, ketika ayahnya
kembali ke Mekah, ia diasuh oleh kakeknya, Abdurrahman al-Misri, yang
mengajarinya dasar-dasar ilmu agama, bahasa Arab dan ilmu falak.
Pada
usia 18 tahun, setelah kakeknya meninggal, ia menunaikan ibadah haji
dan berjumpa dengan ayah serta familinya. Disana, selama tujuh tahun, ia
belajar agama kepada ayahandanya dan kepada Sayyid Ahmad bin Zaini
Dahlan, seorang mufti Makkah.
Pada
tahun 1848 M beliau kemudian meneruskan perjalanan beliau untuk
menuntut ilmu. Berangkatlah beliau ke Hadramaut. Disana beliau menuntut
ilmu kepada Habib Abdullah bin Husin Bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar Bin Yahya, Habib Alwi bin Saggaf Al-Jufri, Habib Hasan bin Sholeh Al-Bahar.
Selepas
dari menuntut ilmu di Hadramaut, keinginannya untuk selalu menuntut
ilmu seakan tak pernah pupus dan luntur. Habib Usman kemudian meneruskan
perjalanannya ke Mesir dan belajar di Kairo selama 8 bulan. Dari Kairo
lalu meneruskan perjalanan ke Tunisia dan berguru kepada Asy-Syaikh
Abdullah Basya. Dilanjutkan ke Aljazair dan berguru kepada Asy-Syaikh
Abdurrahman Al-Maghrabi. Ia juga melakukan perjalanan ke
Istambul, Persia, dan Syria. Setelah itu kemudian kembali ke Hadramaut.
Dalam perjalanannya ke beberapa negara tersebut, beliau banyak
mendapatkan berbagai macam ilmu, seperti Fikih, Tasawuf, Tarikh, ilmu
Falak, dan lain-lain.
Pada
tahun 1862 H (1279 M), ia kembali ke Batavia (Jakarta) dan menetap
disana. Di Batavia ini, ia diangkat menjadi mufti menggantikan Syeikh
Abdul Ghani, mufti sebelumnya yang telah lanjut usia. Pada tahun
1899-1914 diangkat sebagai Adviseur Honorer untuk urusan Arab di kantor Voor Inlandsche Zaken.
Sebagai
seorang ulama yang mumpuni, ia sangat produktif mengarang banyak buku.
Buku-buku yang ia karang sebagian besar tidaklah tebal, akan tetapi
banyak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam masyarakat
muslim tentang syariat Islam. Sebagai ulama, ia kenal sangat kritis
dalam menyikapi persoalan-persoalan yang berkembang di tengah
masyarakat.
Ketika
ia menyatakan sikapnya yang tidak setuju, ia selalu melampiaskannya
lewat buku. Ia sangat produktif, karyanya puluhan. Pandangannya yang
sangat tegas-keras dalam soal fikih mendorong Sayid Usman terlibat dalam
berbagai polemik dengan sesama ulama, bahkan dengan pemerintah Hindia
Belanda.
Polemiknya
yang paling keras, antara lain, dengan Syeikh Ahmad Khatib dari
Minangkabau, juga dengan beberapa ulama Betawi. Salah satu hal yang ia
polemikkan dengan Syeikh Ahmad Khatib ialah penentuan arah kiblat masjid
di Palembang. Ia mengutip kitab Tahrir al-Aqwadillah karya Syeikh Arsyad al-Banjari dari Banjarmasin sebagai jawaban atas penentuan arah kiblat.
Sebagian
besar karya Sayid Usman berbahasa Melayu dan Arab, baik berupa
selebaran maupun brosur, rata-rata sekitar 20 halaman. Umumnya berisi
jawaban atas berbagai peroalan umat pada saat itu. Pada 1873 ia menulis
kitab Taudzibu al-Adillah ‘ala Syuruthi Syuhudi al-Ahillah. Buku
ini membahas, dan memberikan jalan keluar, mengenai perbedaan pendapat
di kalangan masyarakat Islam Jakarta waktu itu mengenai hari pertama
bulan Ramadhan.
Pada 1881 ia menulis kitab Al-Qawaninu as-Syari’ah li ahli al-Majalisi al-Hukmiyati wal ‘Iftiayati.
Buku berbahasa Arab ini mempersoalkan menipisnya pengetahuan agama,
khususnya ilmu fikih, di kalangan para penghulu saat itu. Buku itu
laris, sehingga harus dicetak ulang dengan mesin litografi ukuran kecil
milik Sayid Usman sendiri. Dengan mesin cetak sederhana itulah ia
menyebar-luaskan pemikiran-pemikiran agama. Sikapnya yang tegas-keras
memancing polemik dengan beberapa ulama yang lain.
Dalam
bukunya Risalah Dua Ilmu, beliau membagi ulama menjadi 2 macam, yaitu
ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia tidak ikhlas, materialistis,
berambisi dengan kedudukan, sombong dan angkuh. Sedangkan ulama akhirat
adalah orang ikhlas, tawadhu, berjuang mengamalkan ilmunya tanpa
pretensi apa-apa, hanya lillahi ta'ala dan ridha Allah semata-mata.
Ia
menjadi guru yang alim dan telah berhasil mendidik banyak murid-murid
di Batavia waktu itu. Tak sedikit diantara mereka di kemudian hari
menjadi ulama besar, seperti Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi,
Kwitang, Jakarta.
Selain
keras dalam hal agama, Sayid Usman juga punya perhatian di bidang
politik. Tapi sikapnya cukup kontroversial, terutama sikapnya mengenai
jihad dan perang sabil, khususnya mengenai huru-hara melawan Belanda di
Cilegon, Banten. Meski Sayid Usman punya alasan kuat dalam hujah-nya,
banyak ulama yang mencibirnya sebagai antek penjajah. Apalagi sikapnya
yang sangat menentang praktik-praktik mistik, sebagaimana ia tulis dalam
kitab Manhaj al-Istiqamah.
Seorang
pengamat Islam Indonesia, Karel Steenbrink menulis, “Pembaharuan Sayid
Usman memang lebih terbatas dibanding pembaharuan yang dilakukan
Syarekat Islam atau Muhamadiyah, sebab relevansi politik dan sosialnya
sama sekali belum ada. Meski terbatas pada pembaharuan bidang ibadah,
interpretasi fikih untuk urusan-urusan kecil dan beberapa peroalan
akidah, Sayid Usman adalah seorang pembaharu.”
Di
mata orientalis Belanda, Snouck Hourgronje, Sayid Usman adalah ulama
pembaharu. Bahkan ketika ia dihantam oleh para ulama gara-gara
kedekatannya dengan kolonial Belanda, Snouck tetap membelanya. Tetapi
hal itu justru meneguhkan sikap Sayid Usman untuk keluar dari gelanggang
politik.
Dalam tulisannya di harian De Locomotif
edisi 11 Juli 1890, Snouck menulis, ”Beberapa waktu lalu kami telah
minta perhatian terhadap buah karya baru Sayyid Uthman bin Abdillah
al-Alawi dari Betawi yang tak kenal lelah, yaitu serangkaian pelajaran
yang berguna yang ditujukannya buat orang-orang sebangsanya yang
bermukim di sini; dan untuk tujuan tersebut ditempelkannya di berbagai
mesjid Betawi. Pena dan mesin cetak litografi Syaid Usman telah
menghasilkan karya yang besar.”
Dalam
suratnya tertanggal 14 Maret 1890, Snouck menulis mengenai sikap Sayid
Usman yang menentang keras keikut-sertaan kaum muslimin dalam
praktik-praktik maksiat. Antara lain Snouck menulis, ”….beberapa
peraturan tentang agama dan akhlak, yang pematuhannya dianjurkan oleh
Sayyid Uthman kepada kaum muslimin, antara lain keikut-sertaan mereka
dalam musik, minuman, dan tari-tarian…”
Sementara
dalam surat tertanggal 26 Maret 1891, orientalis Belanda itu menulis
mengenai sikap Sayid Usman tentang jihad yang menurutnya ditafsirkan
secara salah: ”Banyak orang ‘disesatkan’ oleh beberapa ajaran syariat
tentang jihad, dan mereka menyangka bahwa seseorang dapat
mempertanggung-jawabkan suatu tindakan di hadapan Allah jika orang
tersebut sebagai muslim mengambil harta orang-orang kafir, Cina ataupun
Belanda untuk dirinya sendiri…”
Sayid
Usman wafat pada 1331 H (1913 M), jenazahnya dimakamkan di TPU Karet,
Jakarta. Namun di kemudian hari, saat ada penggusuran makam pihak
keluarga berusaha memindahkan tanah kuburnya ke Pondok Bambu. Sekarang
makamnya masih terpelihara dengan baik di sebelah selatan masjid
Al-Abidin, Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
yang Sabar kalo koment masih dalam perbaikan
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.